Senin, 31 Mei 2010

Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Bandung Mendiskusikan Trotsky

Ditulis oleh Redaksi Militan Indonesia
Selasa, 25 Mei 2010 03:55

Sekelompok mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bandung menggelar acara bedah buku Revolusi Permanen karya Leon Trotsky dalam rangka launching Studi Pembebasan Mustad’afin (SPM). Acara yang diadakan pada tanggal 15 Mei lalu tersebut mengundang tiga narasumber: Jesus S. Anam (Militan Indonesia), Daniel Indra Kusuma (KPRM-PRD), dan Mutiara Ika Pratiwi (LMND-PRM).

Dalam sambutan yang disampaikan oleh ketua panitia acara, tujuan diadakannya bedah buku Revolusi Permanen ini, selain untuk memetakan kekuatan-kekuatan progresif menuju revolusi Indonesia, adalah untuk menebar benih-benih revolusioner di kalangan mahasiswa, terutama di IAIN Bandung. “Kita harus membumikan kembali kata revolusi,” demikian ungkapnya. “Mahasiswa harus segera keluar dari kampus dan bersama-sama berjuang dengan kaum tertindas untuk mewujudkan revolusi!”

Buku Revolusi Permanen yang terbit dalam bahasa Indonesia tanggal 12 April tahun lalu terbukti telah banyak mengundang perhatian berbagai kalangan. Selain sebagai kajian mengenai elemen-elemen progresif dalam revolusi dan inspirasi perjuangan untuk revolusi Indonesia ke depan, buku ini juga telah mengundang begitu banyak perdebatan. Perdebatan tersebut, dalam konteks Indonesia, masih seputar “apakah kaum buruh Indonesia mampu menjadi penggerak revolusi, dan bagaimana potensi kaum tani?”

Menurut Jesus, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa buku Revolusi Permanen (dan perspektif Trotsky) masih relevan untuk dikaji dan diperdebatkan sampai hari ini, di manapun. Pertama, buku Revolusi Permanen ditulis oleh Trotsky sebagai pedoman bagaimana memenangkan sosialisme atas kapitalisme; kedua, dalam gerak ekonomi global yang sangat labil hari ini, konsepsi Trotsky mengenai “perkembangan gabungan” dan “perkembangan tidak seimbang” bisa menjadi alat untuk menjelaskan trend kapitalisme internasional yang unpredictable; ketiga, buku Revolusi Permanen mampu menganalisis kelas mana -- terkait dengan karakter, kesadaran, konfidensi, dan independensinya -- yang akan membawa sosialisme ke garis kemenangan.

Bantahan mengenai relevansi teori revolusi permanen muncul dari Daniel Indrakusuma. Dengan mengunakan perspektif Doug Lorimer, Daniel mengatakan bahwa teori revolusi permanen tidak relevan dalam konteks manapun, termasuk Indonesia. Trotsky salah dalam memahami persoalan utama Revolusi Rusia, dan teorinya tidak bisa diterapkan dalam revolusi selanjutnya. Alasan kunci dari kesalahan Trotsky, menurut Daniel, adalah penyangkalan Trotsky mengenai perlunya aliansi dengan kaum tani secara keseluruhan. Masih menggunakan perspektif Doug Lorimer, Daniel juga menyinggung kegagalan Revolusi Hongaria 1919 karena telah menerapkan kebijakan yang digariskan oleh Trotsky.

Pernyataan-pernyataan “kritis” Daniel di atas disanggah oleh Jesus. Pertama, mengenai “penyangkalan Trotsky terhadap perlunya aliansi dengan kaum tani”, dengan mengutip tulisan Trotsky dalam Revolusi Permanen, Jesus mengatakan bahwa Trotsky tidak menegasikan peran kaum tani, atau menolak aliansi dengan kaum tani, tetapi menempatkan kaum proletar berdiri di depan kaum tani karena pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kaum tani tidak mampu mengambil peran politik yang independen. Dan perspektif Trotsky terbukti benar, bahwa Revolusi Oktober 1917 telah menempatkan proletariat di garda depan.

Mengenai kegagalan Revolusi Hongaria 1919, Jesus menjelaskan bahwa, seperti Menshevik Rusia pada tahun 1917, dan Stalinis di seluruh dunia sejak saat itu, para pemimpin Sosial Demokrat Hongaria menyerukan kepada para pekerja dan petani untuk mengesampingkan perjuangan untuk sosialisme guna kepentingan konsolidasi (borjuis) demokrasi.

Argumentasi Daniel di atas terlihat sangat tidak didasarkan oleh fakta. Karena kegagalan Revolusi Hongaria, faktanya, bukan karena menjalankan kebijakan Trotsky, tetapi sebaliknya, meninggalkan “kebijakan” Trotsky. Kegagalan tersebut lebih disebabkan oleh kebijakan Bella Kun (pemimpin Revolusi Hongaria) mengenai unifikasi dengan kekuatan-kekuatan sayap kanan. Bahkan pada Kongres Pertama Komunis Internasional yang diadakan tidak lama setelah revolusi Hungaria, Lenin memperingatkan seorang komunis Hongaria, Laszlo Rudas:

"Saya menganggap unifikasi ini sebagai bahaya. Akan lebih baik untuk membentuk sebuah blok dimana kedua belah pihak akan mempertahankan independensinya. Dengan jalan ini, kaum Komunis akan tampil di hadapan massa sebagai partai yang independen. Mereka akan dapat meningkatkan kekuatan mereka hari demi hari, dan dalam keadaan genting, jika kaum Sosial Demokrat tidak memenuhi tugas-tugas revolusioner mereka, beberapa hal bisa diangkat ke titik perpecahan." (Szabad NEP, 21 Januari 1949)

Perdebatan historis dalam acara bedah buku Revolusi Permanen di IAIN Bandung ini bisa menjadi titik balik kualitatif dari organ-organ mahasiswa yang kini mulai jauh dari wacana-wacana historis-revolusioner dan inspiratif. Karena tugas dari seluruh kaum revolusioner Indonesia hari ini adalah menganalisa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di Indonesia di masa depan dengan memeriksa mekanisme internalnya.